Komplek Perguruan Muhammadiyah

Komplek Perguruan Muhammadiyah Jl. Cut Nyak Dien No. 22 Cilegon Banten HP 082112666312

Selasa, 21 Juni 2011

KADERISASI DALAM KELUARGA MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah sejak didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912, telah menyatakan diri sebagai gerakan dakwah amar makruf nahyi mungkar, dan memiliki maksud dan tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya secara ideal dapat dirumuskan dalam "Baldathun Thoyyibatun warobbun Ghofur" Masyarakat Islam sebagaimana yang dicita-citakan Muhammadiyah dalam perwujudannya tentulah melalui perjalanan yang amat panjang. Sebab masyarakat yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah masyarakat yang majemuk, baik dari pemahaman keIslaman maupun pada tataran aplikasi nilai-nilai Islam itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang paling awam sampai kepada yang paling alim, dari yang tidak tahu dan tidak melaksanakan sama sekali ajaran Islam bahkan yang wajib sekalipun, sampai kepada yang paling sholeh. Karenanya, membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya harus dimulai dari individu dan keluarga, setelah ada keluarga yang sakinah tentu ada zariyah thoyyibah kemudian sampai kepada "Baldathun Thoyyibatun warobbun Ghofur" itu (Amien Rais, 1995).

Kaderisasi dalam Muhammadiyah sebagai upaya transformasi nilai-nilai kepada generasi berikutnya adalah aktivitas yang sangat penting bagi tercapainya cita-cita Muhammadiyah. Dalam keluarga Muhammadiyah dimana awal mulanya generasi penerus Muhammadiyah ini ada, harus menjadikan kaderisasi sebagai kegiatan penting sehingga terjadi kesinambungan nilai dalam keluarga Muhammadiyah. Bukan seperti yang akhir-akhir ini terlihat dalam keluarga-keluarga Muhammadiyah. Alangkah banyaknya tokoh-tokoh Muhammadiyah yang keluarganya justru tidak tersentuh sedikitpun oleh Muhammadiyah. Sehingga muncul penilaian buat tokoh-tokoh seperti itu; Muhammadiyah hanya untuk dirinya sendiri saja, bukan untuk keluarganya. Fenomena menarik seringkali muncul di tengah-tengah keluarga tokoh Muhammadiyah seperti diatas, seperti; anak-anaknya tidak ada yang aktif dalam Angkatan Muda Muhammadiyah, jarang mengikuti kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, bahkan ketika sang tokoh itu meninggal dunia maka berakhirlah hubungan keluarga tersebut dengan Muhammadiyah ironisnya keluarganya mengadakan tahlilan 3, 7, 40 hari, dst hal ini diakibatkan ketidaktahuan atau akibat perbedaan paham dengan sang tokoh, wallohu 'alam.

Proses kaderisasi dalam keluarga Muhammadiyah menjadi penting artinya, tidak saja untuk transformasi nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah tetapi juga untuk melangsungkan kepemimpinan dan reorganisasi dalam Muhammadiyah. Sangat disayangkan bilamana ada tokoh atau pimpinan Muhammadiyah tetapi kemudian anak-anaknya tidak aktif di Muhammadiyah, jangankan menjadi pimpinan, menjadi anggota saja tidak?

Kaderisasi dimulai dari rumah

Keluarga Muhammadiyah sebagaimana yang dipandukan dalam Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah berkedudukan pertama, sebagai tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan, karenanya menjadi kewajiban setiap anggota Muhammadiyah untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah yang dikenal dengan keluarga sakinah. Kemudian yang kedua adalah agar keluarga-keluarga dilingkungan Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar dapat mewujudkan Keluarga Sakinah yang terkait dengan pembentukan Gerakan Jama'ah dan da'wah Jamaah menuju terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Keluarga Muhammadiyah berfungsi antara lain dalam mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan da'wah di kemudian hari, dan keluarga dilingkungan Muhammadiyah dituntut keteladanan dalam mempraktikkan kehidupan yang Islami yakni tertanamnya kebaikan dan bergaul dengan saling menyayangi dan mengasihi, menghormati hak anak, saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlak yang mulia secara paripurna, menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka, membiasakan bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan , berbuat adil dan memelihara persamaan hak dan kewajiban serta menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu.

Seorang anak dari keluarga Muhammadiyah akan merasakan bahwa dirinya adalah keluarga Muhammadiyah bilamana ada nuansa keMuhammadiyahan dalam keluarga atau rumah keluarga tersebut. Tidak saja dari aktivitas peribadahan saja seperti sholat, puasa, zakat dan lain-lain ( yang amat menonjol bisa terlihat pada saat pelaksanaan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha yang berbeda dari masyarakat lainnya) tapi juga dari prilaku keseharian orang-orang dalam keluarga tersebut, mulai dari Ayah, Ibu, anak dan seluruh anggota keluarga lainnya. Seorang anak yang baru sekolah dan banyak bertanya mungkin akan menanyakan kepada ibunya, mengapa ibunya selalu berkerudung atau berjilbab dan ketika ada orang lain bukan muhrim ada yang bertamu kerumah, ibunya belum mau keluar kalau belum memakai kerudung. Mengapa ibunya tidak mau bersalaman dengan laki-laki yang bukan muhrimnya sedangkan dengan pamannya bersalaman. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan terjawab dengan sendirinya oleh anak-anak tersebut dengan perlahan-lahan dia mengenal ajaran Islam, dan ajaran Islam yang dia kenal langsung bisa dilihat sendiri sehari-hari dalam rumahnya, tidak saja ada dibuku-buku atau ceramah-ceramah guru-guru atau ustadz-ustadz di Masjid dan Musholla.

Waktu paling menentukan perkembangan kepribadian anak adalah menjelang remaja, dimana apa yang dia pahami berkat belajar sehari-hari akan banyak membekas dalam kehidupannya. Ketika seorang anak dalam keluarga Muhammadiyah bisa melewati masa-masa itu dalam nuansa Kemuhammadiyahan yang kental maka Insla Allah anak tersebut kelak akan menjadi kader-kader Muhammadiyah yang kental. Sebab memasukkannya kedalam lingkungan lain di luar rumah seperti organisasi otonom seperti Ikatan Remaja Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang sulit. Sudah ada bekal yang dimilikinya dalam keluarga yang memudahkannya beradaptasi, dan kemudian memperdalam pengetahuan, militansi dakwah dan juga ketrampilannya dalam menjalankan tugas-tugas persyarikatan.

Mengarahkan Aktivitas Anak Menjadi Kader

Seorang anak dalam keluarga Muhammadiyah apakah cukup dengan memberikan nilai-nilai saja dalam keluarga?, tentu saja tidak. Sebab seorang anak kemudian akan menginjak remaja dan seterusnya akan menjadi dewasa. Ilustrasi tentang seorang tokoh Muhammadiyah yang anaknya tidak menjadi pengurus ortom bahkan anggota, kemungkinan disebabkan karena memang tidak diarahkan oleh orang tuanya. Tidak ada proses adaptasi pendahuluan yang dilakukan orang tua sehingga kemudian anaknya betul-betul dapat menikmati beraktivitas dalam lingkungan Muhammadiyah. Sebagai contoh adalah mengajak anak dalam acara-acara Muhammadiyah, memperkenalkan anak dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan keluarganya, mengadakan pengajian-pengajian keluarga dimana seluruh anggota keluarga juga dilibatkan, dan seterusnya dimana semuanya adalah proses adaptasi bagi seorang anak sehingga kemudian dia lebih mengenal dan menghayati Muhammadiyah.

Dalam realitas keseharian warga Muhammadiyah banyak juga yang justru aktivitas anak-anaknya tidak terkontrol dengan baik. Jangankan mendekatkan diri dengan aktivitas dakwah seperti Muhammadiyah bahkan ada juga yang terlibat dengan pergaulan yang jauh dari nilai-nilai Islam.

Bagi seorang kader Muhammadiyah yang telah mengalami proses pendidikan dan pengemblengan dalam keluarganya sedemikian rupa sehingga kemudian dia betul-betul mengenal Muhammadiyah, beraktivitas dalam ortom Muhammadiyah akan menjadi mudah. Dengan demikianlah dia nanti bisa menggantikan posisi orangtuanya yang juga adalah tokoh Muhammadiyah. Maka mulailah kader tersebut menapaki aktivitasnya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul "Aisyiyah dan seterusnya menjadi kader andalan di persyarikatan Muhammadiyah. Dalam realitasnya tentu saja hal ini tidaklah mudah, ini memerlukan upaya yang terus menerus dari keluarga-keluarga Muhammadiyah dan juga pengontrolan dan evaluasi terus menerus.

Apa yang telah diuraikan dalam konsep da'wah jama'ah Muhammadiyah adalah sesuatu yang sudah memadai untuk dilaksanakan dalam keluarga-keluarga Muhammadiyah. Akan tetapi mungkin pendekatan konsep saja tidaklah cukup perlu pendekatan nuansa atau gerakan atau budaya yang itu lebih bersifat mental dibanding pendekatan teoritis atau konseptual. Betapa mudah kita membuat konsep tapi menjalankan yang kecil-kecil dalam keluarga kita susah sekali, seperti yang kita lihat sekarang ini.

Keluarga merupakan tiang utama kehidupan umatt dan bangsa. Karenanya, kaderisasi Muhammadiyah harus dimulai dari keluarga dengan komitmen yang kuat dari kepala keluarga dan isteri untuk memberikan tauladan yang baik kepada anak-anak sebagai kader-kader yang akan melangsungkan perjuangan Muhammadiyah.



Mulailah Kita dari Sekarang atau Keruntuhan Persyarikatan akan Lebih Cepat Terjadi !!!

Kaderisasi Itu Penting


Satu Abad sudah Muhammadiyah memberikan cahayanya di seluruh Indonesia, telah banyak yang lahir dari pencerahan tersebut. satu abad sudah Muhammadiyah mengawal bangsa ini, tatapi pertanyaannya cukupkah hanya sebagai pengawal, layaknya bodyguard.
perlu langkah cepat dan disertai dengan kebijakan strategis untuk langkah satu abad berikutnya. Muhammadiyah harus sebagai pelaksana, pemberi keputusan. pertanyaannya, siapkah kader kita untuk menjadi pelaksana bahkan pelopor. Kaderisasi sangat penting bagi sebuah organisasi, layaknya sebuah akar yang selalu bahu membahu dan berganti apabila ada akar yang sudah tua hanya satu tujuan agar tumbuhan tersebut tetap hidup.
Sebuah organisasi besar seperti Muhammadiyah tentunya harus memiliki amunisi kader yang cukup banyak, kader yang militan, kader yang dapat mengembangkan Muhammadiyah bukan kader yang mengkibirinya. Militanisme kader sangat ini diperlukaan, agar Muhammadiyah tetap dihati.
Muhammadiyah sangat penting sebagai bagian tak terpisah dalam revolusi bangsa ini.tetapi sayang Peran Muhammadiyah tidak terekspos. kita memerlukan sosok Jendral Besar Sudirman. salah satu kader terbaik Muhammadiyah selalu siap berjuang untuk bangsa dan menjaga kemuhammadiyahannya.
Penting kiranya kita menjaga kader dalam setiap lini ortom Muhammadiyah. sehingga dalam Satu abad kedepan atau tahun kedepan kader Muhammadiyah memimpin bangsa ini.dan pelopor pembaharuan bangsa, dan tentunya siap mengatakan " Saya Bagian Muhammadiyah"

Agenda Kegiatan Majelis Pendidikan Kader PDM Cilegon

Bulan Rajab 1432 H

1. ACARA : SARASEHAN KADER
WAKTU : 8 Rajab


Bulan Sya'ban 1432 H

1.


Bulan Ramadhan 1432 H

1.


Bulan Syawwal 1432 H

1.

Senin, 20 Juni 2011

MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah
Logo Muhammadiyah.svg
Logo Muhammadiyah
Pembentukan 18 November 1912
Jenis Organisasi
Tujuan Keagamaan dan sosial (Islam)
Kantor pusat Kota Yogyakarta, DIY, Indonesia
Wilayah layanan Indonesia
Keanggotaan 29 juta
Ketua Umum Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
Situs web www.muhammadiyah.or.id

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Daftar isi

Sejarah

Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta

Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[1]

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu'allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).

Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.

Organisasi

Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta. Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibukota Jakarta.

Struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah terdiri dari lima orang Penasehat, seorang Ketua Umum yang dibantu tujuh orang Ketua lainnya, seorang Sekretaris Umum dengan dua anggota, seorang Bendahara Umum dengan seorang anggotanya.

Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom Muhammadiyah, yaitu:

Daftar pimpinan

No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Ahmad Dahlan 1912 1923
2 KH Ibrahim 1923 1932
3 KH Hisyam 1932 1936
4 KH Mas Mansur 1936 1942
5 Ki Bagoes Hadikoesoemo 1942 1953
6 Buya AR Sutan Mansur 1953 1959
7 KH M Yunus Anis 1959 1962
8 KH Ahmad Badawi 1962 1968
9 KH Faqih Usman 1968 1971
10 KH AR Fachruddin
1971 1990
11 KH A Azhar Basyir 1990 1995
12 Prof Dr H Amien Rais 1995 2000
13 Prof Dr H Ahmad Syafi'i Ma'arif
2000 2005
14 Prof Dr H Din Syamsuddin 2005 2010
15 Prof Dr H Din Syamsuddin 2010 2015

RANCANGAN PROGRAM KERJA MAJELIS PENDIDIKAN KADER

PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA CILEGON

PERIODE 2010 – 2015

MAJELIS

:

PENDIDIKAN KADER

KETUA

:

H. MUHAIMIN, SE

SEKRETARIS

:

MUH. WASKITO MUHSIN

VISI

:

Menjadikan gerakan Muhammadiyah sebagai perwujudan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul menuju masyarakat kota Cilegon yang madani.

MISI

:

a. Meningkatkan keteladanan pimpinan persyarikatan disegala jenjang kepemimpinan dan amal usahanya, sebagai wujud integritas dalam mengembangkan dan mengamalkan visi Muhammadiyah.

b. Menerapkan pedoman kehidupan Islami pada warga Muhammadiyah yang diamanatkan kepada pimpinan Muhammadiyah serta membimbing pelaksanaannya.

TUJUAN

:

Berkembangnya kualitas anggota dan kader Muhammadiyah sebagai pelaku gerakan yang memiliki keunggulan kapasitas, komitmen ideologis dan mampu memajukan serta menyebarluaskan peran Muhammadiyah dalam dinamika kehidupan umat, bangsa dan perkembangan global.

No

PROGRAM PENGEMBANGAN

KEGIATAN

INDIKATOR KEGIATAN DAN TARGET

PIHAK TERKAIT

WAKTU

ANGGARAN

1

Melakukan koordinasi kaderisasi dengan organisasi otonom pada setiap jenjang Pimpinan Muhammadiyah.

SARASEHAN KADER

1. Silaturahmi Antar Kader

2. Dialog antar Kader

3. Sinkronisasi Perkaderan di semua tingkatan

4. Koordinasi Perkaderan

1. PDM

2. PDPM

3. PD IMM

4. PD IRM

5. PD TS

6. AUM

Juli

50 Orang

Rp. 1.500.000,-

2

Mengintensifkan pelaksanaan Sistem Perkaderan sebagai budaya organisasi diseluruh tingkatan pimpinan, amal usaha dan institusi-institusi yang berada dalam struktur Persyarikatan.

PELATIHAN PERKADERAN BERJENJANG

TM IRM

KOKAMSAR

Pandu HW

PanduWreda

Anggota

Calon Anggota

6 bulan sekali

Agustus

100 orang

Rp. 2.500.000,-

3

Mengoptimalkan pendayagunaan pilar-pilar perkaderan dilingkungan Persyarikatan yakni di keluarga, organisasi otonom, lembaga pendidikan dan Amal Usaha Muhammadiyah.

PjKA Muhammadiyah

(Pengajian Keliling Anggota Muhammadiyah)

Silaturahmi Anggota

Anggota Muhammadiyah

1 bulan sekali

Agustus

25 orang

Rp. 500.000,-

4

Menyusun materi perkaderan dan materi ideologi yang terkandung dalam Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.

BEDAH BUKU PERKADERAN

Penerbitan Buku Materi Perkaderan

Penggandaan Buku Materi Perkaderan

Sosialisasi Materi Pengkaderan

Seluruh unsur Pimpinan Daerah, Majelis, Lembaga, AUM, dan Ortom

1 Tahun sekali

Oktober

250 buku

Rp. 1.500.000,-

5

Melaksanakan Ideopolitor (Ideologi, Politik dan Organisasi) bagi pimpinan di Lingkungan Pimpinan Persyarikatan dan Amal Usaha untuk meneguhkan komitmen ideologis, memperluas visi dan pemikiran dan mengembangkan organisasi sebagai instrumen gerakan Islam.

BAITUL ARQAM

Meneguhkan komitmen

Memantapkan ideologis

Memperluas visi dan misi

Membuka pemikiran

Seluruh unsur Pimpinan Daerah, Majelis, Lembaga, AUM, dan Ortom

1 tahun sekali

September

100 orang

Rp. 2.500.000,-

6

Bekerjasama dengan Majelis/Lembaga/Amal Usaha terkait menyelenggarakan Darul Arqam/Baitul Arqam dan pengkajian Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, baik secara teori maupun praktek.

DARUL ARQAM

DARUL ARQAM I

DARUL ARQAM II

DARUL ARQAM III

Seluruh unsur Pimpinan Daerah, Majelis, Lembaga, AUM, dan Ortom

1 tahun sekali

Bulan Ramadhan

50 orang

Rp. 3.500.000,-

7

Mengintensifkan dan mendesain pembinaan anggota di lingkungan Persyarikatan dan Amal Usaha dan kelompok-kelompok jamaah melalui Baitul Arqam, Darul Arqam, Pengajian khusus dan berbagai model perkaderan lainnya yang bersifat spesifik.

My DARLING

(Musyawarah Kaderisasi Keliling)

Silaturahmi Kader

Seluruh unsur Pimpinan Daerah, Majelis, Lembaga, AUM, dan Ortom

1 bulan sekali

25 orang

Rp. 1.000.000,-

8

Menyelenggarakan Latihan Instruktur disertai pembentukan Korp Instruktur di masing-masing tingkatan sesuai dengan Sistem Perkaderan Muhammadiyah.

KORPS MUBALIGH MUHAMMADIYAH

Terbentuknya Instruktur

Korps Mubaligh

Kader Inti Muhammadiyah

9

Meningkatkan kajian-kajian perkaderan untuk pengembangan konsep, model, pendekatan dan metode yang lebih berkualitas dalam pelaksanaan perkaderan Muhammadiyah.

SEMINAR KADER

Transformasi Metode Ilmiah

Seluruh unsur Pimpinan Daerah, Majelis, Lembaga, AUM, dan Ortom

1 tahun sekali

Muharram

100 orang

Rp. 2.500.000,-

10

Menyusun dan melaksanakan perkaderan fungsional untuk mewadahi dan menyalurkan potensi anggota dan kader yang tersebarluas diberbagai lingkungan profesi dan lembaga di luar Muhammadiyah.

MABICA

Rekruitment Anggota

Pemohon KTA

6 bulan sekali

25 orang

Rp. 1.500.000,-

11

Identifikasi, penyusunan data base dan pemetaan sumberdaya kader yang dimiliki Muhammadiyah di semua lini.

BLOG / WEB

Majeliskader.blogspot.com

Identifikasi dan data base

Warga Muhammadiyah

Juni

12

Meningkatkan proses trasformasi kader dengan banyak melibatkan dan memberi peran yang proporsional kepada kader Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dalam berbagai aktifitas Persyarikatan.

RAKERDA

RAPIMDA

Koordinasi Semua Ortom

Seluruh unsur Pimpinan Daerah, Majelis, Lembaga, AUM, dan Ortom

13

Bekerjasama dengan Majelis Tarjih dan Tabligh membentuk forum kajian tafaqquh fiddin (seperti kajian tafsir Quran dan Hadits) di semua tingkat pimpinan.

FKI

Forum Kajian Ilmih

Terbentuknya Mubaligh

Terbentuknya Ulama

Anggota Muhammadiyah

14

Melaksanakan sertifikasi bekerjasama dengan Majelis Diktilitbang dan Majelis Dikdasmen untuk pengajar Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di Lembaga Perguruan Tinggi serta Pendidikan Dasar dan Menengah.

MU’ALIMIN

PTUK

SERTIFIKASI

Mencetak Kader Anggota

Mencetak Kader Ulama

Sertifikasi Guru Agama

IRM

IMM dan PM

Guru AUM

1 tahun sekali

5 orang

Rp. 5.000.000,-

Minggu, 19 Juni 2011

PENGEMBANGAN EMPAT PILAR PERKADERAN DI MUHAMMADIYAH


Secara implisit, judul makalah ini paling tidak menyiratkan tiga hal. Pertama, pengakuan dan kesadaran bahwa empat pilar[1] perkaderan di Muhammadiyah tersebut selama ini tidak atau belum berkembang. Kedua, harapan dan sikap optimis bahwa empat pilar perkaderan itu masih bisa dikembangkan dan dioptimalkan fungsinya. Ketiga, karena itu, pilar-pilar perkaderan tersebut diakui memiliki peran dan fungsi strategis bagi dinamika dan keberlangsungan gerak Muhammadiyah.
Biasanya  di lingkungan Persyarikatan pilar perkaderan yang dikenal hanya ada tiga, yakni: keluarga, Ortom (AMM[2] [Angkatan Muda Muhammadiyah]) dan AUM di bidang pendidikan. Adanya tambahan Pimpinan Persyarikatan yang juga dipandang sebagai pilar perkaderan, hemat saya memiliki stressing point pada dua aspek: tanggung jawab moril dan materil pimpinan dalam pelaksanaan perkaderan;   serta secara kelembagaan orang yang berada dalam struktur kepemimpinan pada dasarnya pula tengah menjalani proses pembelajaran dan perkaderan  dengan melaksanakan amanah dan kewajibannya.
Dalam pola hubungan organisasi, semestinya terbangun interrelasi dan kebijakan yang pro-perkaderan di antara pimpinan Persyarikatan, Ortom AMM dan AUM. Pola relasi seperti ini sangat penting, karena berdasarkan pengalaman tanpa kebijakan yang responsif dan politik perkaderan yang kuat dari pimpinan Persyarikatan perkaderan tidak akan bisa berjalan secara sistemik, menyeluruh  dan  berkesinambungan.
Kemudian di lingkup AUM, kalau selama ini hanya bidang pendidikan yang dianggap bersenyawa dengan perkaderan, maka setidaknya pascamuktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (2005) AUM di bidang kesehatan dan sebagainya juga dilibatkan dalam perkaderan. Dalam arti, AUM tersebut mengadakan perkaderan seperti Baitul Arqam, yang pengelolaannya dimintakan, umpamanya, kepada Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Terkait dengan topik pengembangan empat pilar perkaderan di Muhammadiyah, makalah ini akan lebih fokus pada ikhtiar strategis untuk mengembangkan pilar perkaderan di kalangan Ortom[3] AMM.  Untuk pilar keluarga lebih tepat dielaborasi oleh narasumber PP `Aisyiyah; sementara pilar pimpinan juga lebih pas dikemukan oleh narasumber dari PP Muhammadiyah.
KADER DAN MASA DEPAN PERSYARIKATAN
Rencana strategis program nasional bidang kaderisasi—Tanfidz Keputusan Muktamar ke-45—menyatakan:   “Membangun kekuatan dan kualitas pelaku gerakan serta peran dan ideologi gerakan Muhammadiyah dengan mengoptimalkan sistem kaderisasi yang menyeluruh dan berorientasi ke masa depan.” Ada tiga kata kunci dalam rencana strategis tersebut: pelaku gerakan; ideologi gerakan Muhammadiyah; dan sistem kaderisasi. Khusus yang diistilahkan dengan  ”pelaku gerakan” cakupan subjeknya terdiri dari: pemimpin, kader, dan anggota/warga Persyarikatan.
Dalam ruang lingkup dan dinamika gerakan Muhammadiyah, maka secara organisatoris ketiga subjek tersebut saling membutuhkan dan pengaruh-mempengaruhi. Misalnya, seorang pemimpin pasti membutuhkan anggota/warga, baik sebagai  basis legitimasi kepemimpinan maupun  untuk kepentingan pelibatan mereka dalam berbagai program dan agenda kerja yang sudah dirancang. Terlebih lagi posisi kader, maka keberadaannya juga lebih strategis dan menentukan bagi bagi kemajuan organisasi. Nilai lebih ini karena kader menempati posisi signifikan di antara pemimpin dan anggota: sebagai tenaga pendukung tugas pemimpin serta menjadi penggerak dan pendinamis aktivitas partisipatif anggota/warga.
Secara leksikal kader (bahasa Perancis: cadre) merupakan bagian inti, pusat atau bagian terpilih yang terlatih. Dalam bahasa Latin adalah quadrum, yang berarti empat persegi panjang, bujur sangkar atau kerangka yang kokoh. Dengan demikian kader merupakan kelompok elite strategis dan terlatih yang samapta dengan kecakapan, kualifikasi dan nilai-nilai lebih yang harus dimilikinya.[4]
Untuk menjadi kader seperti dalam pengertiannya tadi tentu tidak bisa terwujud secara instant dan begitu saja. Terbentuknya sosok kader seperti itu adalah melalui penempaan dalam latihan dan proses didik diri yang berkelanjutan di fora perkaderan, baik yang dikategorikan sebagai perkaderan utama maupun fungsional.[5]
Forum perkaderan sebagai wahana didik yang intensif, bisa dijadikan ajang untuk menyeleksi kader dalam kualitas dan kualifikasinya, termasuk untuk menilai potensi  dan kapasitas kepemimpinannya. Dengan begitu, intensitas kaderisasi yang dilakukan oleh Persyarikatan dan Ortom AMM dalam berbagai jenis dan bentuknya yang berbobot menjadi investasi bagi masa depan Muhammadiyah.
Kader yang berkualitas dan proses kaderisasi yang mapan menjadi qonditio sine qua non bagi terlaksananya regenerasi dan alih estafeta kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Sekaligus dengan upaya itu pula regenerasi yang bertumpu pada kaderisasi dapat menjamin kesinambungan dan pengembangan organisasi di masa depan secara dinamis, sesuai dengan ideologi dan identitasnya yang dikontekstualisasikan untuk menjawab tuntutan dan perubahan zaman.
Identitas dan keberadaan pemimpin serta kader merupakan komponen organisasi yang  tidak boleh tidak mesti dirawat dan dikembangkan. Upaya ini menjadi tanggung jawab yang besar dan sekaligus berat terutama bagi pemimpin Persyarikatan, sementara  pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri merupakan bagian dari anasir yang terpenting dan fundamental dalam mengintensifkan gerakan  dan mengembangkan dinamika Muhammadiyah ke depan.
Dengan kata lain, aktiva dan pasiva gerakan Muhammadiyah untuk membuktikan identitas tersebut akan ikut ditentukan oleh kualitas kader dan kinerja kepemimpinan yang dijalankan oleh seluruh jajaran dan fungsionarisnya di semua lini.  Artinya, neraca gerakan Muhammadiyah dewasa ini–yang sudah memasuki  abad kedua–dan kelanjutannya ke depan yang tetap mengusung identitas tadi, tidak bisa dimungkiri lagi bakal ikut diwarnai dan ditentukan oleh kompetensi kader dan para elite yang saat ini diamanahi dalam struktur kepemimpinan Persyarikatan.
Dengan demikian, para kader dan orang-orang yang dipercaya menjadi pemimpin di Muhammadiyah itu, sesuai dengan levelnya masing-masing, memiliki amanah yang berat dan tanggung jawab yang besar untuk memajukan Persyarikatan serta mengembangkan sumberdaya kader dan anggotanya. Dalam konteks ini, selain memiliki integritas dan kredibilitas, kader dan pemimpin juga harus mempunyai kapabilitas, visi kepemimpinan yang jelas, dan kemauan untuk selalu meningkatkan kualitas dengan perkaderan[6] atau memiliki tekad kuat untuk mau belajar dan berlatih guna memperbarui diri.
Kebutuhan akan sosok kader dan pemimpin yang amanah dan cakap serta model kepemimpinan yang responsif dan  partisipatoris, bukan saja karena kebutuhan intern Muhammadiyah yang urgen, tetapi juga mengingat tantangan dan problem eksternal Persyarikatan di masa depan yang semakin tidak ringan. Tantangan ini juga tidak lepas dari konstelasi dinamis dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan.
POTRET ORTOM AMM
Berkaitan dengan kayataan seperti itu patut diakui bahwa dalam sejarahnya Muhammadiyah sejak dini sudah memikirkan arti penting dan fungsi strategis kader bagi kemajuan dan kesinambungan gerakannya. Sejak awal KH Ahmad Dahlan telah mulai merintis pembinaan kader-kader Muhammadiyah melalui pengajian, pendidikan formal-informal, organisasi kepanduan (Hizbul Wathon), organisasi kepemudaan, dan sebagainya.
Perkembangan selanjutnya, tradisi perkaderan tetap dilanjutkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah berikutnya. Kelahiran Nasyiatul `Aisyiyah (16 Mei 1931), Pemuda Muhammadiyah (2 Mei 1932), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (18 Juli 1961) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (14 Maret 1964) merupakan bukti dari keseriusan Muhammadiyah terhadap arti penting kader bagi Persyarikatan.
Kepentingan akan peran kader yang ada di AMM tersebut pada dasarnya tidak sekedar untuk mencukupi hajat kebutuhan sesaat saja, tetapi bersifat jangka panjang dalam estafeta regenerasi untuk menjamin masa depan Muhammadiyah. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk menyegarkan dan memperbarui vitalitas kader AMM perlu selalu didesain dengan sebaik-baiknya.
Ikhtiar yang terencana by design itu tidak bisa ditawar-tawar lagi, terlebih bila kita melihat potret AMM akhir-akhir ini. Ada asumsi bahwa gerakan AMM yang kurang artikulatif  sedikit banyak dibiaskan oleh nama besar dan prestasi sejarah Muhammadiyah. Masalah ini juga ikut dipengaruhi  oleh sikap  dan kebijakan (sebagian) Pimpinan Persyarikatan  dalam menghadapi dinamika AMM.
Artikulasi gerakan dan aktivitas AMM–yang terdiri dari Pemuda Muhammadiyah (PM), Nasyiatul `Aisyiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Tapak Suci Putera Muhammadiyah–dinilai banyak pihak masih lemah dan belum lantang bergema ke luar. Lemahnya artikulasi gerakan dan aktivitas ini mempengaruhi posisi strategis AMM sebagai basis dan wadah kader Muhammadiyah.
Tentu tida fair juga bila buramnya potret AMM ditimpakan kesalahannya kepada Muhammadiyah semata. Menilik lebih jauh kepada inti permasalahnnya, peran dan fungsi ideal AMM misalnya untuk menyuplai kader-kader terbaiknya bagi kepentingan Muhammadiyah, umat dan bangsa sering terdistorsikan di masing-masing tubuh organisasi AMM itu sendiri.
Ada beberapa persoalan mendasar yang berkaitan dengan problem kaderisasi di AMM dan artikulasi gerakannya. Pertama, lemahnya sistem dan mekanisme perkaderan AMM secara “ide konseptual” dan “praktek operasional”. Kedua, masih terbatasnya orientasi perkaderan hanya untuk mencukupi hajat kebutuhan intern masing-masing AMM, dan itu pun seringkali berjalan tidak lancar. Ketiga, tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi model perkaderan yang komprehensif yang melibatkan seluruh jajaran AMM. Keempat, masih kuatnya ego sektoral di masing-masing AMM. Kelima, tuntutan untuk bekerja sesuai dengan usia rata-rata AMM yang tidak mudah diaktualisasikan sesuai keterbatasan lapangan pekerjaan. Keenam, keterpukauan AMM oleh panggung politik sehingga menganggap tidak afdol kalau tidak terjun ke arena politik praktis seperti melalui partai politik.
Di luar masalah internal AMM tadi, dalam hubungan organisatoris maupun personal masih banyak Pimpinan Persyarikatan atau orang Muhammadiyah yang memandang AMM melalui pola pendekatan antargenerasi dan antarangkatan. Pola pendekatan ini memiliki kecenderungan dan implikasi  pemahaman terhadap AMM yang tidak utuh, parsial, dan fragmentaris. Dengan pola pendekatan seperi ini, AMM masih sering dianggap hanya sebagai unsur pelengkap dari organisasi besar Muhammadiyah dalam pola hubungan antara “anak” dan “bapak”.
Tampaknya pola pendekatan dan hubungan yang tidak kondusif tadi ada baiknya diubah dengan menggunakan pola pendekatan ekosferis–meminjam istilah HAR Tilaar. Pendekatan ekosferis merupakan pola yang memandang dunia anak-anak muda sebagai bagian yang dinamis dari wawasan kehidupan manusia dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan sebagai keseluruhan, dan unsur tujuan yang menjadi pengarah dinamika dalam lingkungannya itu.
Dengan pendekatan model seperti ini, Muhammadiyah tidak perlu lagi memandang AMM secara fragmentaris dan parsial. Tetapi Muhammadiyah melihat AMM secara utuh sebagai dunia tersendiri, dengan segala unsur dan dinamikannya yang khas sesuai dengan lingkungan dan wawasan kaum muda Muhammadiyah tanpa harus kehilangan nilai-nilai prinsipil Persyarikatan.
Lebih penting dari itu semua, hemat penulis, adalah  upaya kreatif AMM sendiri dalam menentukan sikap dan gerak langkahnya. Misalnya penyelesaian masalah keorganisasian untuk memperkuat artikulasi gerakannya semestinya  lebih ditentukan oleh kemandirian sikap dan keberanian AMM dalam mengambil keputusan dengan menanggung risikonya.
Sikap mandiri dan dinamis tersebut merupakan bagian dari identitas dan karakter kaum muda Muhammadiyah. Karena itu, bila langkah intensifikasi organisasi telah dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka strategi gerakan tersebut harus ditindaklanjuti dengan upaya konstruktif AMM untuk membangun sejarahnya sendiri.
Membangun sejarah sendiri berarti AMM membebaskan diri dari  bayang-bayang kebesaran Muhammadiyah dengan segala konsekuensinya; dan memerdekakan diri dari sindroma romantisisme historis tentang kejayaan sejarah milik orang lain. Karenanya, dinamika dan aktivitas AMM harus tetap  berlandaskan pada kultur organisasi kepemudaan dengan semangat idealisme dan kemandiriannya dengan tetap loyal pada prinsip-prinsip Persyarikatan. Dengan keberanian seperti inilah AMM bisa membuat potret barunya, bukan saja agar bisa terlihat lebih cerah dan segar, tetapi juga mencerahkan dan menyegarkan. Bahkan, menjadi AMM yang bergerak dan menggerakkan.
REVITALISASI KADER DAN FORMAT PENGEMBANGAN
Sebagai basis dan wadah kader Muhammadiyah, AMM seharusnya juga bisa menghasilkan kelompok-kelompok elite kader yang bisa diandalkan. Karenanya, keberadaan AMM di samping untuk senantiasa berupaya dalam menjaga eksistensinya, juga mempunyai fungsi dan peran strategis untuk menyuplai kader-kader terbaiknya bagi kepentingan Muhammadiyah. Bahkan keistimewaan (yang berarti juga menjadi beban moral) AMM, sebagai basis kader ternyata tecakup dalam “spektrum kekaderan”: kader Persyarikatan,  kader umat dan kader bangsa.
Spektrum kekaderan AMM tersebut menunjukkan peran dan fungsinya yang multidimensi dan inklusif bagi kepentingan hidup umat dan kejayaan bangsa. Sekaligus dengan  spektrum kekaderan ini AMM membantah tuduhan dari sementara kalangan yang sering menyebutkan bahwa AMM hanya menjadi wadah kader bagi Muhammadiyah saja.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, maka kebutuhan standar kader untuk saat ini dan masa yang akan datang akan berbeda dengan masa yang lalu. Karena itu, untuk selalu menampikan sosok kader yang siap pakai sesuai dengan zamannya, perlu diadakan upaya “revitalisasi kader AMM”. Langkah ini merupakan bagian terpenting dalam membangun format pengembangan sumberdaya kader.
Revitalisasi kader ini merupakan sebuah proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan vitalitas, daya juang, dan kualitas kader melalui berbagai macam pelatihan, pendidikan, dan perkaderan yang terarah dan terencana. Melalui revitalisasi kader ini, suplai kader tidak hanya berfungsi bagi pemenuhan kebutuhan internal organisasi saja, tetapi juga peran strategisnya akan terlihat dari kemampuannya dalam merespons dan menyikapi dinamika perkembangan zaman.
Pada sisi lain revitalisasi kader tersebut merupakan unsur terpenting dari upaya manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota. Dalam sebuah organisasi, manajemen pengembangan sumberdaya kader ini merupakan program pokok yang strategis guna menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan siap pakai untuk mendinamiskan gerakan organisasi.
Dalam praktiknya, manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota ini tidak akan cukup diwujudkan dalam bentuk-bentuk training perkaderan dan pelatihan yang baku saja. Penyatalaksanaan manajemen ini harus sudah dimulai sejak perekrutan anggota dan selama aktif berkecimpung dalam organisasi.
Mutatis mutandis, revitalisasi kader AMM juga harus diterapkan dalam pelbagai bentuk kegiatan, pelatihan, dan institusi-institusi perkaderan baik yang termasuk jenis perkaderan utama maupun fungsional.[7] Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa upaya revitalisasi kader AMM dengan mengintensifkan berbagai macam perkaderan tadi, jangan sampai hanya bersifat ideology oriented, hanya berorientasi semata untuk menanamkan nilai-nilai ideologis organisasi, tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek lainnya yang dinamis dan juga penting.
Harus dipahami bahwa arti penting lain dari revitalisasi kader ini adalah agar supaya kader AMM memiliki link and match, baik ke dalam maupun ke luar. Maksudnya, ada keterkaitan dan keselarasan dengan tuntutan kebutuhan internal Persyarikatan, maupun kemestian bagi AMM untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kecakapan agar mampu merespons perubahan sosial yang menyertai dinamika umat dan bangsa dalam percaturan global.
Berkaitan dengan revitalisasi tersebut, maka kualifikasi kader tidak sekedar dipahami pada kentalnya muatan ideologi, nilai identitas, dan teori-teori keorganisasian saja secara pro-forma. Muatan-muatan seperfi ini harus ditindaklanjuti dengan pemahaman kader terhadap realitas empirik di seputarnya secara pro-acsio, yang akan menjadi lahan untuk “membumikan” ideologi dan nilai-nilai identitasnya tadi. Dalam prosesnya, muatan dan pemahaman ini harus bisa sejalan secara dialektis, agar bisa melahirkan bentangan dialog antara nilai idealita dengan dunia realita.
Mengingat arti penting dan fungsi strategis kader dalam sebuah organisasi, maka sedari awal harus sudah digariskan rencana pengelolaan dan penanganan problemnya yang antisipatif dan berwawasan ke depan. Berkaitan dengan revitalisasi kader ini, setidaknya ada dua format pengembangan pilar perkaderan khususnya di kalangan Ortom AMM, yakni: transformasi kader dan diversifikasi kader.
Secara harfiah, transformasi[8] kader adalah pengubahan fungsi dan penggantian peran kader ke tahap yang lebih baik dan semakin berbobot. Sedangkan secara terminologi-konseptual transformasi kader merupakan sebuah proses dan mekanisme perkaderan yang sistematis, terarah, dan terencana untuk melakukan pengalihan fungsi dan peran seorang kader–berdasarkan pada standar kualifikasi, kompetisi, dan kapabilitas kecakapan dalam bidang keahlian khusus–untuk menempati posisi tertentu dalam sebuah organisasi.
Kongkretnya, transformasi kader ini bisa diterapkan antarsesama AMM, melalui promosi dan penokohan kader untuk beralih jenjang ke organisasi yang dipandang lebih sesuai daripada sebelumnya, umpamanya karena faktor umur dan tingkat pendidikan. Misalnya transformasi  kader dari IPM ke IMM, atau ke PM dan ke NA. Ada kecenderungan kalau terlalu lama di salah satu Ortom, apalagi diwarnai dengan ego sektoral, bisa-bisa sang kader itu menghabiskan umurnya di Ortom tersebut dan bersikap sinis terhadap Ortom lain.
Adapun transformasi kader untuk Muhammadiyah, adalah dengan melakukan promosi dan penokohan kader yang sesuai dengan standarisasi dan kebutuhan, dari kalangan AMM untuk menempati pos-pos tertentu dalam Muhammadiyah. Untuk memperlancar mekanisme dan sistem transformasi kader ini, baik di kalangan AMM maupun Muhammadiyah, terlebih dahulu harus melakukan penjajagan dan pemantauan kader-kader potensial secara intensif, misalnya melalui berbagai jenis dan jenjang perkaderan serta penugasan yang terencana.
Format berikutnya adalah diversifikasi[9] kader.  Secara formal-organisatoris, barangkali diversifikasi kader ini sudah terwakili dalam pengategorian AMM untuk kalangan pelajara (IPM),  kalangan mahasiswa (IMM), serta  kalangan pemuda dan pemudi (PM dan NA).
Namun demikian, pengertian dan konsepsi dari diversifikasi kader yang dimaksud menunjukkan sebuah sistem dan mekanisme perkaderan untuk menganekaragamkan dan mengembangkan kualitas kader AMM yang berdasarkan pada bakat, minat profesi keahlian, dan kompetensi masing-masing kader serta untuk merespons dinamika zaman. Diversifikasi ini menjadi  semacam pengelompokan dan pengategorian kader AMM dalam sistem pembinaan dan pengembangan lebih lanjut yang berdasarkan pada bidang-bidang profesi dan disiplin keilmuan yang dikuasainya serta dengan mempertimbangkan potensi dan bakatnya.
Dalam diversifikasi kader ini juga bisa dilakukan pengorbitan dan penyebaran “kader lepas” yang secara struktural keorganisasian tidak terikat formal. “Kader lepas” tersebut diberi kesempatan dan dukungan  untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi sumber dayanya di luar Persyarikatan dengan tetap membawa prinsip dan misi Muhammadiyah.
Terkait dengan diversifikasi kader, tampaknya dunia politik, dunia jurnalistik, dan dunia ekonomi serta profesi-profesi keahlian yang mengglobal masih belum diperhatikan oleh AMM dan Muhammadiyah secara serius dan terancang dengan sistemik. Sebagai contoh, kader Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik nyaris tidak ada penyiapan, pembekalan dan perkaderannya yang khusus dan matang. Sehingga tidak terbangun jaringan komunikasi politik yang sinergis antara kader-kader politik itu dengan visi dan misi Persyarikatan. Hal ini terjadi baik di tingkat politik lokal maupun nasional.
PENUTUP
Perkadern yang berjalan secara sistemik, mapan dan berkesinambungan,  tidak hanya untuk mendukung dinamika dan penguatan eksistensi organisasi saja, tetapi juga untuk mendorong gerakan dakwah Muhammadiyah dan  peran kebangsaannya yang semakin membutuhkan kualitas sumberdaya kader dan anggota. Pembenahan problem kaderisasi dengan kesungguhan dalam pendanaannya yang tidak sedikit akan berperan besar dalam upaya pengembangan sumberdaya dimaksud.
Melalui penerapan “transformasi kader” dan “diversifikasi kader” diharapkan akan lebih mempercepat proses pengembangan dan peningkatan kualitas kader AMM yang sesuai dengan kompetensi dan kapabilitasnya yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan kedua sistem tersebut, sedikit banyak akan bisa mengatasi problem kaderisasi dan menjadi ajang perkaderan yang kondusif untuk mempercepat “mobilitas vertikal” dan “mobilitas horizontal” kader AMM, baik dalam lingkup kepentingan internal Muhammadiyah maupun untuk merespons dinamika kebangsaan yang tidak bisa lepas dari percaturan globalisasi yang menggurita.[]

[1]Secara leksikal pilar berarti: 1. n. tiang penguat (dr batu, beton, dsb); 2. ki. Dasar (yg pokok); induk. (Lihat:Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 683). Dalam konteks topik semiloka ini pilar dimaksud adalah sumber dan sekaligus penopang perkaderan Muhammadiyah.
[2]Secara substantif penulis menawarkan istilah KMM (Kaum Muda Muhammadiyah) karena, hemat penulis,  KMM tidak dibatasi berdasarkan usia atau kesamaan generasi, tetapi lebih pada pemikrian yang segar, semangat kemajuan dan jiwa progresif kendati orangnya sudah termasuk tua. Sedangkan istilah “angkatan” dalam AMM sangat kuat dengan kesan generatif yang dibedakan berdasarkan kategori umur dan periode kesamaan era waktu lahir. Di samping itu juga muncul persepsi di sebagian warga Muhammadiyah atau pihak luar, bahwa AMM adalah nama salah satu Ortom atau bagian dari struktur Muhammadiyah, padahal bukan.
[3]Tentang Organisasi otonom (Ortom) dalam Qa`idah Organisasi Otonom Muhammadiyah (SK PP Muhammadiyah No. 92/KEP/I.O/B/2007) dinyatakan sebagai berikut: BAB  II Pasal 2 Kedudukan Organisasi Otonom  adalah satuan organisasi yang  berkedudukan di bawah Persyarikatan. Pasal 3 Kategori (1)Organisasi Otonom dibedakan dalam dua kategori, yaitu Umum dan Khusus. a. Organisasi Otonom Umum adalah organisasi otonom yang anggotanya belum seluruhnya anggota Muhammadiyah. b. Organisasi Otonom Khusus adalah organisasi otonom yang seluruh anggotanya anggota Muhammadiyah, dan diberi wewenang menyelenggarakan amal usaha yang ditetapkan oleh Pimpinan Muhammadiyah dalam koordinasi Unsur Pembantu Pimpinan yang membidanginya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang amal usaha tersebut.(2) a. Organisasi Otonom Umum yaitu Hizbul Wathan, Nasyiatul ’Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Tapak Suci Putera Muhammadiyah. b.Organisasi Otonom Khusus yaitu ’Aisyiyah.
[4]Lihat Encarta Dictionary tentang kader (cadre): military military unit: a group of experienced professionals at the core of a military organization who are able to train new recruits and expand the operations of the unit;politics core of activists: a core group of political activists or revolutionaries; core group: a controlling or representative group at the center of an organization; small group of team-spirited people: a tightly knit, highly trained group of people; member of cadre: a member of a cadre. (Microsoft® Encarta® Reference Library 2004. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.)
[5]Sebelumnya dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM) yang lama jenis perkaderan dikelompokan menjadi perkaderan formal, informal dan nonformal. Setelah mengalami revisi—sesuai amanat Muktamar Muhammadiyah ke-45–dalam SPM baru ini jenis perkaderan diganti menjadi perkaderan utama dan perkaderan fungsional (lihat: MPK PP Muhammadiyah. 2007. Sistem Perkaderan Muhammadiyah, hlm. 43-46).
[6]Perkaderan merupakan program  yang terencana, terarah, terus-menerus, dan terangkai dalam satu kesatuan yang terpadu dalam mempersiapkan anggota dan pimpinan sebagai subjek dan pendukung gerak Muhammadiyah untuk mewujudkan tujuannya. (Sistem Perkaderan Muhammadiyah, 2007: 8).
[7] Perkaderan utama adalah kegiatan kaderisasi pokok yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan atau pelatihan untuk menyatukan visi dan pemahaman nilai ideologis serta aksi gerakan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Persyarikatan atau MPK di setiap struktur pimpinan. Perkaderan ini dilaksanakan dengan standar  kurikulum yang baku dan waktu penyelenggaraannya dalam satuan waktu tertentu yang telah ditetapkan. Kegiatan kaderisasi yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, kursus atau kajian intensif yang terstruktur namun tidak ditetapkan standar kurikulumnya secara baku untuk mencukupi kebutuhan dan fungsi tertentu dari majelis atau lembaga.
Perkaderan fungsional dilaksanakan sebagai pendukung perkaderan utama dan guna pengembangan sumberdaya kader. Kurikulumnya dapat dikembangkan secara fleksibel sesuai jenis pelatihan serta kebutuhan dan kreativitas masing-masing penyelenggara. (Sistem Perkadern Muhammadiyh, 2007: 44-45).
[8]Transformation antara lain diartikan sebagai  complete change: a complete change, usually into something with an improved appearance or usefulness.