Komplek Perguruan Muhammadiyah

Komplek Perguruan Muhammadiyah Jl. Cut Nyak Dien No. 22 Cilegon Banten HP 082112666312

Minggu, 19 Juni 2011

PENGEMBANGAN EMPAT PILAR PERKADERAN DI MUHAMMADIYAH


Secara implisit, judul makalah ini paling tidak menyiratkan tiga hal. Pertama, pengakuan dan kesadaran bahwa empat pilar[1] perkaderan di Muhammadiyah tersebut selama ini tidak atau belum berkembang. Kedua, harapan dan sikap optimis bahwa empat pilar perkaderan itu masih bisa dikembangkan dan dioptimalkan fungsinya. Ketiga, karena itu, pilar-pilar perkaderan tersebut diakui memiliki peran dan fungsi strategis bagi dinamika dan keberlangsungan gerak Muhammadiyah.
Biasanya  di lingkungan Persyarikatan pilar perkaderan yang dikenal hanya ada tiga, yakni: keluarga, Ortom (AMM[2] [Angkatan Muda Muhammadiyah]) dan AUM di bidang pendidikan. Adanya tambahan Pimpinan Persyarikatan yang juga dipandang sebagai pilar perkaderan, hemat saya memiliki stressing point pada dua aspek: tanggung jawab moril dan materil pimpinan dalam pelaksanaan perkaderan;   serta secara kelembagaan orang yang berada dalam struktur kepemimpinan pada dasarnya pula tengah menjalani proses pembelajaran dan perkaderan  dengan melaksanakan amanah dan kewajibannya.
Dalam pola hubungan organisasi, semestinya terbangun interrelasi dan kebijakan yang pro-perkaderan di antara pimpinan Persyarikatan, Ortom AMM dan AUM. Pola relasi seperti ini sangat penting, karena berdasarkan pengalaman tanpa kebijakan yang responsif dan politik perkaderan yang kuat dari pimpinan Persyarikatan perkaderan tidak akan bisa berjalan secara sistemik, menyeluruh  dan  berkesinambungan.
Kemudian di lingkup AUM, kalau selama ini hanya bidang pendidikan yang dianggap bersenyawa dengan perkaderan, maka setidaknya pascamuktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (2005) AUM di bidang kesehatan dan sebagainya juga dilibatkan dalam perkaderan. Dalam arti, AUM tersebut mengadakan perkaderan seperti Baitul Arqam, yang pengelolaannya dimintakan, umpamanya, kepada Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Terkait dengan topik pengembangan empat pilar perkaderan di Muhammadiyah, makalah ini akan lebih fokus pada ikhtiar strategis untuk mengembangkan pilar perkaderan di kalangan Ortom[3] AMM.  Untuk pilar keluarga lebih tepat dielaborasi oleh narasumber PP `Aisyiyah; sementara pilar pimpinan juga lebih pas dikemukan oleh narasumber dari PP Muhammadiyah.
KADER DAN MASA DEPAN PERSYARIKATAN
Rencana strategis program nasional bidang kaderisasi—Tanfidz Keputusan Muktamar ke-45—menyatakan:   “Membangun kekuatan dan kualitas pelaku gerakan serta peran dan ideologi gerakan Muhammadiyah dengan mengoptimalkan sistem kaderisasi yang menyeluruh dan berorientasi ke masa depan.” Ada tiga kata kunci dalam rencana strategis tersebut: pelaku gerakan; ideologi gerakan Muhammadiyah; dan sistem kaderisasi. Khusus yang diistilahkan dengan  ”pelaku gerakan” cakupan subjeknya terdiri dari: pemimpin, kader, dan anggota/warga Persyarikatan.
Dalam ruang lingkup dan dinamika gerakan Muhammadiyah, maka secara organisatoris ketiga subjek tersebut saling membutuhkan dan pengaruh-mempengaruhi. Misalnya, seorang pemimpin pasti membutuhkan anggota/warga, baik sebagai  basis legitimasi kepemimpinan maupun  untuk kepentingan pelibatan mereka dalam berbagai program dan agenda kerja yang sudah dirancang. Terlebih lagi posisi kader, maka keberadaannya juga lebih strategis dan menentukan bagi bagi kemajuan organisasi. Nilai lebih ini karena kader menempati posisi signifikan di antara pemimpin dan anggota: sebagai tenaga pendukung tugas pemimpin serta menjadi penggerak dan pendinamis aktivitas partisipatif anggota/warga.
Secara leksikal kader (bahasa Perancis: cadre) merupakan bagian inti, pusat atau bagian terpilih yang terlatih. Dalam bahasa Latin adalah quadrum, yang berarti empat persegi panjang, bujur sangkar atau kerangka yang kokoh. Dengan demikian kader merupakan kelompok elite strategis dan terlatih yang samapta dengan kecakapan, kualifikasi dan nilai-nilai lebih yang harus dimilikinya.[4]
Untuk menjadi kader seperti dalam pengertiannya tadi tentu tidak bisa terwujud secara instant dan begitu saja. Terbentuknya sosok kader seperti itu adalah melalui penempaan dalam latihan dan proses didik diri yang berkelanjutan di fora perkaderan, baik yang dikategorikan sebagai perkaderan utama maupun fungsional.[5]
Forum perkaderan sebagai wahana didik yang intensif, bisa dijadikan ajang untuk menyeleksi kader dalam kualitas dan kualifikasinya, termasuk untuk menilai potensi  dan kapasitas kepemimpinannya. Dengan begitu, intensitas kaderisasi yang dilakukan oleh Persyarikatan dan Ortom AMM dalam berbagai jenis dan bentuknya yang berbobot menjadi investasi bagi masa depan Muhammadiyah.
Kader yang berkualitas dan proses kaderisasi yang mapan menjadi qonditio sine qua non bagi terlaksananya regenerasi dan alih estafeta kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Sekaligus dengan upaya itu pula regenerasi yang bertumpu pada kaderisasi dapat menjamin kesinambungan dan pengembangan organisasi di masa depan secara dinamis, sesuai dengan ideologi dan identitasnya yang dikontekstualisasikan untuk menjawab tuntutan dan perubahan zaman.
Identitas dan keberadaan pemimpin serta kader merupakan komponen organisasi yang  tidak boleh tidak mesti dirawat dan dikembangkan. Upaya ini menjadi tanggung jawab yang besar dan sekaligus berat terutama bagi pemimpin Persyarikatan, sementara  pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri merupakan bagian dari anasir yang terpenting dan fundamental dalam mengintensifkan gerakan  dan mengembangkan dinamika Muhammadiyah ke depan.
Dengan kata lain, aktiva dan pasiva gerakan Muhammadiyah untuk membuktikan identitas tersebut akan ikut ditentukan oleh kualitas kader dan kinerja kepemimpinan yang dijalankan oleh seluruh jajaran dan fungsionarisnya di semua lini.  Artinya, neraca gerakan Muhammadiyah dewasa ini–yang sudah memasuki  abad kedua–dan kelanjutannya ke depan yang tetap mengusung identitas tadi, tidak bisa dimungkiri lagi bakal ikut diwarnai dan ditentukan oleh kompetensi kader dan para elite yang saat ini diamanahi dalam struktur kepemimpinan Persyarikatan.
Dengan demikian, para kader dan orang-orang yang dipercaya menjadi pemimpin di Muhammadiyah itu, sesuai dengan levelnya masing-masing, memiliki amanah yang berat dan tanggung jawab yang besar untuk memajukan Persyarikatan serta mengembangkan sumberdaya kader dan anggotanya. Dalam konteks ini, selain memiliki integritas dan kredibilitas, kader dan pemimpin juga harus mempunyai kapabilitas, visi kepemimpinan yang jelas, dan kemauan untuk selalu meningkatkan kualitas dengan perkaderan[6] atau memiliki tekad kuat untuk mau belajar dan berlatih guna memperbarui diri.
Kebutuhan akan sosok kader dan pemimpin yang amanah dan cakap serta model kepemimpinan yang responsif dan  partisipatoris, bukan saja karena kebutuhan intern Muhammadiyah yang urgen, tetapi juga mengingat tantangan dan problem eksternal Persyarikatan di masa depan yang semakin tidak ringan. Tantangan ini juga tidak lepas dari konstelasi dinamis dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan.
POTRET ORTOM AMM
Berkaitan dengan kayataan seperti itu patut diakui bahwa dalam sejarahnya Muhammadiyah sejak dini sudah memikirkan arti penting dan fungsi strategis kader bagi kemajuan dan kesinambungan gerakannya. Sejak awal KH Ahmad Dahlan telah mulai merintis pembinaan kader-kader Muhammadiyah melalui pengajian, pendidikan formal-informal, organisasi kepanduan (Hizbul Wathon), organisasi kepemudaan, dan sebagainya.
Perkembangan selanjutnya, tradisi perkaderan tetap dilanjutkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah berikutnya. Kelahiran Nasyiatul `Aisyiyah (16 Mei 1931), Pemuda Muhammadiyah (2 Mei 1932), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (18 Juli 1961) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (14 Maret 1964) merupakan bukti dari keseriusan Muhammadiyah terhadap arti penting kader bagi Persyarikatan.
Kepentingan akan peran kader yang ada di AMM tersebut pada dasarnya tidak sekedar untuk mencukupi hajat kebutuhan sesaat saja, tetapi bersifat jangka panjang dalam estafeta regenerasi untuk menjamin masa depan Muhammadiyah. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk menyegarkan dan memperbarui vitalitas kader AMM perlu selalu didesain dengan sebaik-baiknya.
Ikhtiar yang terencana by design itu tidak bisa ditawar-tawar lagi, terlebih bila kita melihat potret AMM akhir-akhir ini. Ada asumsi bahwa gerakan AMM yang kurang artikulatif  sedikit banyak dibiaskan oleh nama besar dan prestasi sejarah Muhammadiyah. Masalah ini juga ikut dipengaruhi  oleh sikap  dan kebijakan (sebagian) Pimpinan Persyarikatan  dalam menghadapi dinamika AMM.
Artikulasi gerakan dan aktivitas AMM–yang terdiri dari Pemuda Muhammadiyah (PM), Nasyiatul `Aisyiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Tapak Suci Putera Muhammadiyah–dinilai banyak pihak masih lemah dan belum lantang bergema ke luar. Lemahnya artikulasi gerakan dan aktivitas ini mempengaruhi posisi strategis AMM sebagai basis dan wadah kader Muhammadiyah.
Tentu tida fair juga bila buramnya potret AMM ditimpakan kesalahannya kepada Muhammadiyah semata. Menilik lebih jauh kepada inti permasalahnnya, peran dan fungsi ideal AMM misalnya untuk menyuplai kader-kader terbaiknya bagi kepentingan Muhammadiyah, umat dan bangsa sering terdistorsikan di masing-masing tubuh organisasi AMM itu sendiri.
Ada beberapa persoalan mendasar yang berkaitan dengan problem kaderisasi di AMM dan artikulasi gerakannya. Pertama, lemahnya sistem dan mekanisme perkaderan AMM secara “ide konseptual” dan “praktek operasional”. Kedua, masih terbatasnya orientasi perkaderan hanya untuk mencukupi hajat kebutuhan intern masing-masing AMM, dan itu pun seringkali berjalan tidak lancar. Ketiga, tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi model perkaderan yang komprehensif yang melibatkan seluruh jajaran AMM. Keempat, masih kuatnya ego sektoral di masing-masing AMM. Kelima, tuntutan untuk bekerja sesuai dengan usia rata-rata AMM yang tidak mudah diaktualisasikan sesuai keterbatasan lapangan pekerjaan. Keenam, keterpukauan AMM oleh panggung politik sehingga menganggap tidak afdol kalau tidak terjun ke arena politik praktis seperti melalui partai politik.
Di luar masalah internal AMM tadi, dalam hubungan organisatoris maupun personal masih banyak Pimpinan Persyarikatan atau orang Muhammadiyah yang memandang AMM melalui pola pendekatan antargenerasi dan antarangkatan. Pola pendekatan ini memiliki kecenderungan dan implikasi  pemahaman terhadap AMM yang tidak utuh, parsial, dan fragmentaris. Dengan pola pendekatan seperi ini, AMM masih sering dianggap hanya sebagai unsur pelengkap dari organisasi besar Muhammadiyah dalam pola hubungan antara “anak” dan “bapak”.
Tampaknya pola pendekatan dan hubungan yang tidak kondusif tadi ada baiknya diubah dengan menggunakan pola pendekatan ekosferis–meminjam istilah HAR Tilaar. Pendekatan ekosferis merupakan pola yang memandang dunia anak-anak muda sebagai bagian yang dinamis dari wawasan kehidupan manusia dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan sebagai keseluruhan, dan unsur tujuan yang menjadi pengarah dinamika dalam lingkungannya itu.
Dengan pendekatan model seperti ini, Muhammadiyah tidak perlu lagi memandang AMM secara fragmentaris dan parsial. Tetapi Muhammadiyah melihat AMM secara utuh sebagai dunia tersendiri, dengan segala unsur dan dinamikannya yang khas sesuai dengan lingkungan dan wawasan kaum muda Muhammadiyah tanpa harus kehilangan nilai-nilai prinsipil Persyarikatan.
Lebih penting dari itu semua, hemat penulis, adalah  upaya kreatif AMM sendiri dalam menentukan sikap dan gerak langkahnya. Misalnya penyelesaian masalah keorganisasian untuk memperkuat artikulasi gerakannya semestinya  lebih ditentukan oleh kemandirian sikap dan keberanian AMM dalam mengambil keputusan dengan menanggung risikonya.
Sikap mandiri dan dinamis tersebut merupakan bagian dari identitas dan karakter kaum muda Muhammadiyah. Karena itu, bila langkah intensifikasi organisasi telah dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka strategi gerakan tersebut harus ditindaklanjuti dengan upaya konstruktif AMM untuk membangun sejarahnya sendiri.
Membangun sejarah sendiri berarti AMM membebaskan diri dari  bayang-bayang kebesaran Muhammadiyah dengan segala konsekuensinya; dan memerdekakan diri dari sindroma romantisisme historis tentang kejayaan sejarah milik orang lain. Karenanya, dinamika dan aktivitas AMM harus tetap  berlandaskan pada kultur organisasi kepemudaan dengan semangat idealisme dan kemandiriannya dengan tetap loyal pada prinsip-prinsip Persyarikatan. Dengan keberanian seperti inilah AMM bisa membuat potret barunya, bukan saja agar bisa terlihat lebih cerah dan segar, tetapi juga mencerahkan dan menyegarkan. Bahkan, menjadi AMM yang bergerak dan menggerakkan.
REVITALISASI KADER DAN FORMAT PENGEMBANGAN
Sebagai basis dan wadah kader Muhammadiyah, AMM seharusnya juga bisa menghasilkan kelompok-kelompok elite kader yang bisa diandalkan. Karenanya, keberadaan AMM di samping untuk senantiasa berupaya dalam menjaga eksistensinya, juga mempunyai fungsi dan peran strategis untuk menyuplai kader-kader terbaiknya bagi kepentingan Muhammadiyah. Bahkan keistimewaan (yang berarti juga menjadi beban moral) AMM, sebagai basis kader ternyata tecakup dalam “spektrum kekaderan”: kader Persyarikatan,  kader umat dan kader bangsa.
Spektrum kekaderan AMM tersebut menunjukkan peran dan fungsinya yang multidimensi dan inklusif bagi kepentingan hidup umat dan kejayaan bangsa. Sekaligus dengan  spektrum kekaderan ini AMM membantah tuduhan dari sementara kalangan yang sering menyebutkan bahwa AMM hanya menjadi wadah kader bagi Muhammadiyah saja.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, maka kebutuhan standar kader untuk saat ini dan masa yang akan datang akan berbeda dengan masa yang lalu. Karena itu, untuk selalu menampikan sosok kader yang siap pakai sesuai dengan zamannya, perlu diadakan upaya “revitalisasi kader AMM”. Langkah ini merupakan bagian terpenting dalam membangun format pengembangan sumberdaya kader.
Revitalisasi kader ini merupakan sebuah proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan vitalitas, daya juang, dan kualitas kader melalui berbagai macam pelatihan, pendidikan, dan perkaderan yang terarah dan terencana. Melalui revitalisasi kader ini, suplai kader tidak hanya berfungsi bagi pemenuhan kebutuhan internal organisasi saja, tetapi juga peran strategisnya akan terlihat dari kemampuannya dalam merespons dan menyikapi dinamika perkembangan zaman.
Pada sisi lain revitalisasi kader tersebut merupakan unsur terpenting dari upaya manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota. Dalam sebuah organisasi, manajemen pengembangan sumberdaya kader ini merupakan program pokok yang strategis guna menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan siap pakai untuk mendinamiskan gerakan organisasi.
Dalam praktiknya, manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota ini tidak akan cukup diwujudkan dalam bentuk-bentuk training perkaderan dan pelatihan yang baku saja. Penyatalaksanaan manajemen ini harus sudah dimulai sejak perekrutan anggota dan selama aktif berkecimpung dalam organisasi.
Mutatis mutandis, revitalisasi kader AMM juga harus diterapkan dalam pelbagai bentuk kegiatan, pelatihan, dan institusi-institusi perkaderan baik yang termasuk jenis perkaderan utama maupun fungsional.[7] Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa upaya revitalisasi kader AMM dengan mengintensifkan berbagai macam perkaderan tadi, jangan sampai hanya bersifat ideology oriented, hanya berorientasi semata untuk menanamkan nilai-nilai ideologis organisasi, tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek lainnya yang dinamis dan juga penting.
Harus dipahami bahwa arti penting lain dari revitalisasi kader ini adalah agar supaya kader AMM memiliki link and match, baik ke dalam maupun ke luar. Maksudnya, ada keterkaitan dan keselarasan dengan tuntutan kebutuhan internal Persyarikatan, maupun kemestian bagi AMM untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kecakapan agar mampu merespons perubahan sosial yang menyertai dinamika umat dan bangsa dalam percaturan global.
Berkaitan dengan revitalisasi tersebut, maka kualifikasi kader tidak sekedar dipahami pada kentalnya muatan ideologi, nilai identitas, dan teori-teori keorganisasian saja secara pro-forma. Muatan-muatan seperfi ini harus ditindaklanjuti dengan pemahaman kader terhadap realitas empirik di seputarnya secara pro-acsio, yang akan menjadi lahan untuk “membumikan” ideologi dan nilai-nilai identitasnya tadi. Dalam prosesnya, muatan dan pemahaman ini harus bisa sejalan secara dialektis, agar bisa melahirkan bentangan dialog antara nilai idealita dengan dunia realita.
Mengingat arti penting dan fungsi strategis kader dalam sebuah organisasi, maka sedari awal harus sudah digariskan rencana pengelolaan dan penanganan problemnya yang antisipatif dan berwawasan ke depan. Berkaitan dengan revitalisasi kader ini, setidaknya ada dua format pengembangan pilar perkaderan khususnya di kalangan Ortom AMM, yakni: transformasi kader dan diversifikasi kader.
Secara harfiah, transformasi[8] kader adalah pengubahan fungsi dan penggantian peran kader ke tahap yang lebih baik dan semakin berbobot. Sedangkan secara terminologi-konseptual transformasi kader merupakan sebuah proses dan mekanisme perkaderan yang sistematis, terarah, dan terencana untuk melakukan pengalihan fungsi dan peran seorang kader–berdasarkan pada standar kualifikasi, kompetisi, dan kapabilitas kecakapan dalam bidang keahlian khusus–untuk menempati posisi tertentu dalam sebuah organisasi.
Kongkretnya, transformasi kader ini bisa diterapkan antarsesama AMM, melalui promosi dan penokohan kader untuk beralih jenjang ke organisasi yang dipandang lebih sesuai daripada sebelumnya, umpamanya karena faktor umur dan tingkat pendidikan. Misalnya transformasi  kader dari IPM ke IMM, atau ke PM dan ke NA. Ada kecenderungan kalau terlalu lama di salah satu Ortom, apalagi diwarnai dengan ego sektoral, bisa-bisa sang kader itu menghabiskan umurnya di Ortom tersebut dan bersikap sinis terhadap Ortom lain.
Adapun transformasi kader untuk Muhammadiyah, adalah dengan melakukan promosi dan penokohan kader yang sesuai dengan standarisasi dan kebutuhan, dari kalangan AMM untuk menempati pos-pos tertentu dalam Muhammadiyah. Untuk memperlancar mekanisme dan sistem transformasi kader ini, baik di kalangan AMM maupun Muhammadiyah, terlebih dahulu harus melakukan penjajagan dan pemantauan kader-kader potensial secara intensif, misalnya melalui berbagai jenis dan jenjang perkaderan serta penugasan yang terencana.
Format berikutnya adalah diversifikasi[9] kader.  Secara formal-organisatoris, barangkali diversifikasi kader ini sudah terwakili dalam pengategorian AMM untuk kalangan pelajara (IPM),  kalangan mahasiswa (IMM), serta  kalangan pemuda dan pemudi (PM dan NA).
Namun demikian, pengertian dan konsepsi dari diversifikasi kader yang dimaksud menunjukkan sebuah sistem dan mekanisme perkaderan untuk menganekaragamkan dan mengembangkan kualitas kader AMM yang berdasarkan pada bakat, minat profesi keahlian, dan kompetensi masing-masing kader serta untuk merespons dinamika zaman. Diversifikasi ini menjadi  semacam pengelompokan dan pengategorian kader AMM dalam sistem pembinaan dan pengembangan lebih lanjut yang berdasarkan pada bidang-bidang profesi dan disiplin keilmuan yang dikuasainya serta dengan mempertimbangkan potensi dan bakatnya.
Dalam diversifikasi kader ini juga bisa dilakukan pengorbitan dan penyebaran “kader lepas” yang secara struktural keorganisasian tidak terikat formal. “Kader lepas” tersebut diberi kesempatan dan dukungan  untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi sumber dayanya di luar Persyarikatan dengan tetap membawa prinsip dan misi Muhammadiyah.
Terkait dengan diversifikasi kader, tampaknya dunia politik, dunia jurnalistik, dan dunia ekonomi serta profesi-profesi keahlian yang mengglobal masih belum diperhatikan oleh AMM dan Muhammadiyah secara serius dan terancang dengan sistemik. Sebagai contoh, kader Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik nyaris tidak ada penyiapan, pembekalan dan perkaderannya yang khusus dan matang. Sehingga tidak terbangun jaringan komunikasi politik yang sinergis antara kader-kader politik itu dengan visi dan misi Persyarikatan. Hal ini terjadi baik di tingkat politik lokal maupun nasional.
PENUTUP
Perkadern yang berjalan secara sistemik, mapan dan berkesinambungan,  tidak hanya untuk mendukung dinamika dan penguatan eksistensi organisasi saja, tetapi juga untuk mendorong gerakan dakwah Muhammadiyah dan  peran kebangsaannya yang semakin membutuhkan kualitas sumberdaya kader dan anggota. Pembenahan problem kaderisasi dengan kesungguhan dalam pendanaannya yang tidak sedikit akan berperan besar dalam upaya pengembangan sumberdaya dimaksud.
Melalui penerapan “transformasi kader” dan “diversifikasi kader” diharapkan akan lebih mempercepat proses pengembangan dan peningkatan kualitas kader AMM yang sesuai dengan kompetensi dan kapabilitasnya yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan kedua sistem tersebut, sedikit banyak akan bisa mengatasi problem kaderisasi dan menjadi ajang perkaderan yang kondusif untuk mempercepat “mobilitas vertikal” dan “mobilitas horizontal” kader AMM, baik dalam lingkup kepentingan internal Muhammadiyah maupun untuk merespons dinamika kebangsaan yang tidak bisa lepas dari percaturan globalisasi yang menggurita.[]

[1]Secara leksikal pilar berarti: 1. n. tiang penguat (dr batu, beton, dsb); 2. ki. Dasar (yg pokok); induk. (Lihat:Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 683). Dalam konteks topik semiloka ini pilar dimaksud adalah sumber dan sekaligus penopang perkaderan Muhammadiyah.
[2]Secara substantif penulis menawarkan istilah KMM (Kaum Muda Muhammadiyah) karena, hemat penulis,  KMM tidak dibatasi berdasarkan usia atau kesamaan generasi, tetapi lebih pada pemikrian yang segar, semangat kemajuan dan jiwa progresif kendati orangnya sudah termasuk tua. Sedangkan istilah “angkatan” dalam AMM sangat kuat dengan kesan generatif yang dibedakan berdasarkan kategori umur dan periode kesamaan era waktu lahir. Di samping itu juga muncul persepsi di sebagian warga Muhammadiyah atau pihak luar, bahwa AMM adalah nama salah satu Ortom atau bagian dari struktur Muhammadiyah, padahal bukan.
[3]Tentang Organisasi otonom (Ortom) dalam Qa`idah Organisasi Otonom Muhammadiyah (SK PP Muhammadiyah No. 92/KEP/I.O/B/2007) dinyatakan sebagai berikut: BAB  II Pasal 2 Kedudukan Organisasi Otonom  adalah satuan organisasi yang  berkedudukan di bawah Persyarikatan. Pasal 3 Kategori (1)Organisasi Otonom dibedakan dalam dua kategori, yaitu Umum dan Khusus. a. Organisasi Otonom Umum adalah organisasi otonom yang anggotanya belum seluruhnya anggota Muhammadiyah. b. Organisasi Otonom Khusus adalah organisasi otonom yang seluruh anggotanya anggota Muhammadiyah, dan diberi wewenang menyelenggarakan amal usaha yang ditetapkan oleh Pimpinan Muhammadiyah dalam koordinasi Unsur Pembantu Pimpinan yang membidanginya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang amal usaha tersebut.(2) a. Organisasi Otonom Umum yaitu Hizbul Wathan, Nasyiatul ’Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Tapak Suci Putera Muhammadiyah. b.Organisasi Otonom Khusus yaitu ’Aisyiyah.
[4]Lihat Encarta Dictionary tentang kader (cadre): military military unit: a group of experienced professionals at the core of a military organization who are able to train new recruits and expand the operations of the unit;politics core of activists: a core group of political activists or revolutionaries; core group: a controlling or representative group at the center of an organization; small group of team-spirited people: a tightly knit, highly trained group of people; member of cadre: a member of a cadre. (Microsoft® Encarta® Reference Library 2004. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.)
[5]Sebelumnya dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM) yang lama jenis perkaderan dikelompokan menjadi perkaderan formal, informal dan nonformal. Setelah mengalami revisi—sesuai amanat Muktamar Muhammadiyah ke-45–dalam SPM baru ini jenis perkaderan diganti menjadi perkaderan utama dan perkaderan fungsional (lihat: MPK PP Muhammadiyah. 2007. Sistem Perkaderan Muhammadiyah, hlm. 43-46).
[6]Perkaderan merupakan program  yang terencana, terarah, terus-menerus, dan terangkai dalam satu kesatuan yang terpadu dalam mempersiapkan anggota dan pimpinan sebagai subjek dan pendukung gerak Muhammadiyah untuk mewujudkan tujuannya. (Sistem Perkaderan Muhammadiyah, 2007: 8).
[7] Perkaderan utama adalah kegiatan kaderisasi pokok yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan atau pelatihan untuk menyatukan visi dan pemahaman nilai ideologis serta aksi gerakan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Persyarikatan atau MPK di setiap struktur pimpinan. Perkaderan ini dilaksanakan dengan standar  kurikulum yang baku dan waktu penyelenggaraannya dalam satuan waktu tertentu yang telah ditetapkan. Kegiatan kaderisasi yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, kursus atau kajian intensif yang terstruktur namun tidak ditetapkan standar kurikulumnya secara baku untuk mencukupi kebutuhan dan fungsi tertentu dari majelis atau lembaga.
Perkaderan fungsional dilaksanakan sebagai pendukung perkaderan utama dan guna pengembangan sumberdaya kader. Kurikulumnya dapat dikembangkan secara fleksibel sesuai jenis pelatihan serta kebutuhan dan kreativitas masing-masing penyelenggara. (Sistem Perkadern Muhammadiyh, 2007: 44-45).
[8]Transformation antara lain diartikan sebagai  complete change: a complete change, usually into something with an improved appearance or usefulness. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar