Komplek Perguruan Muhammadiyah

Komplek Perguruan Muhammadiyah Jl. Cut Nyak Dien No. 22 Cilegon Banten HP 082112666312

Minggu, 19 Juni 2011

PERKADERAN, TITIK LEMAH PERSYARIKATAN DI USIA SATU ABAD ?

Pengantar
Muhammadiyah telah memasuki usianya yang ke seratus satu. Selama itu,  Muhammadiyah telah mematerikan namanya sebagai gerakan Islam modernis yang dikenal luas, baik pada tingkat nasional mapun global, tak kenal lelah dalam berkhidmat menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa dan kemanusiaan. Kita boleh bergembira dan sudah sepantasnya kita bersyukur ke hadirat Allah atas karunia dan nikmatNya, karena dengan usia itu, Persyarikatan Muhammadiyah telah berhasil menabur amal salih di berbagai bidang kehidupan, baik itu dalam hal dakwah Islam, sosial, kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun kebudayaan.
Hal di atas ini sering membuat orang (luar) menganggap Persyarikatan Muhammadiyah bagaikan bangunan yang kokoh kuat; tak lapuk kena hujan tak lekang kena panas. Muhammadiyah sendiri menapaki abad keduanya dengan optimisme dan percaya diri: melintasi zaman, dakwah dan tajdid menuju peradaban utama. Tak ada yang salah dengan optimisme tersebut, namun semua itu tidak boleh membuat warga Persyarikatan, terutama kader dan pimpinannya menjadi lupa diri, terbuai kekuatan yang dimiliki, melupakan kelemahan yang ada dan ancaman yang mengintai setiap saat
Di tengah perkembangan yang menjajikan di bidang organisasi dan amal usahanya,  ternyata Muhammadiyah tak dapat mengimbanginya dengan pasokan jumlah dan mutu kader yang dihasilkannya. Penanganan amal usaha yang menuntut keahlian profesional dan pragmatisme gerakan, sering menggiring Muhammadiyah untuk menengok kepada ”tenaga profesional” dan mengesampingkan kader-kader yang dihasilkan oleh sistemnya sendiri. Disamping itu budaya global yang membawa virus materialisme, hedonisme dan pragmatisme telah menggerus nilai keihlasan sehingga mengubah perilaku warga Muhammadiyah yang pada gilirannya bermuara pada konflik  internal berkepanjangan yang amat melelahkan.
Banyak pemikiran, kaya ide dan suka beramal itulah Muhammadiyah. Tetapi menurut hemat kami, sekarang ini Muhammadiyah miskin dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang akan mengartikulasikan pemikiran dan gagasan tadi. Bagaimana jadinya bila sebuah cita-cita yang sarat dengan nilai dan ide diartikulasikan oleh orang yang tidak memahaminya? Maka menjadi tidak mengherankan manakala didapati praktek- amaliah ”warga” Muhammadiyah yang jauh dari ruh dakwah dan tajdid.
Disinilah pentingnya peran kader yang diharapkan dapat berfungsi menjaga eksistensi organisasi, menjaga kemurnian ide dan berusaha menghindarkan Muhammadiyah dari distorsi ideologi dan jebakan pragmatisme. Dengan kata lain kader Muhammadiyah bukanlah cuma sebatas calon pemimpin. Kader adalah tulang punggung organisasi, pewaris keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usahanya di tengah-tengah arus perubahan zaman.
Optimisme vs Pesimisme
Dalam melihat Muhammadiyah setidaknya ada dua sudut pandang yang dapat dikedepankan. Pertama, melihat Muhammmadiyah dalam perspektif organisasi. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang khas dengan kepribadian, kerangka ideologis, dan pedoman-pedoman organisasi sebagai landasan gerak. Kedua, melihat Muhammadiyah sebagai cara berpikir atau state of mind. Keterikatan seseorang terhadap Muhammadiyah diukur dari seberapa jauh cara berpikir seorang tersebut relatif sejalan dengan alam pemikiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, baik akidah, ibadah dan muamalahnya.
Kedua sudut pandang ini tidak boleh diinterpretasikan secara sempit, kaku, apriori bahkan dikotomis. Namun dengan memadukan ke dua cara pandang ini, yakni melihat Muhammadiyah sebagi organisasi sekaligus sebagai alam pemikiran, memungkinkan kita dapat melihat, menyikapi dan memperlakukan Muhammadiyah secara tepat dengan mengedepankan kuwajiban dirinya apakah ia sebagai kader, pemimpin organisasi ataukah sebagai simpatisan. Dengan panduan dan perpaduan ke dua cara pandang ini juga kita dapat memilah ”warga ” Muhammadiyah menjadi kader, pemimpin organisasi dan simpatisan dengan kriteria daya dukung dan loyalitasnya pada Persyarikatan.
Sebagai sebuah gerakan Islam yang sudah berusia satu abad tentu Muhammadiyah mengandung potensi-potensi dinamis yang merupakan daya dorong untuk maju kedepan mengarungi ombak tantangan zaman dan peradaban, namun diakui didalamnya juga mulai mengidap berbagai ”penyakit” yang berpotensi menggerogoti keperkasaannya. Hal ini kalau tidak diwaspadai dapat melemahkan atau bahkan dapat membunuhnya.
Bagi yang optimistik, percaya pada masa depan Muhammadiyah, maka mereka percaya akan reputasi Muhammadiyah dengan menyodorkan fakta-fakta bagaimana perkembangan kuantitatif Persyarikatan. Pertumbuhan pesat jumlah Cabang dan Ranting, pertambahan amal usaha yang bermunculan setiap saat terutama bidang kesehatan (meskipun ada pula yang redup dan mati), serta mulai berkembangnya AUM di bidang ekonomi-perbankan. Semua itu pastilah  merupakan aset sumber daya yang sangat berharga bagi Persyarikatan.
Kepercayaan masyarakat yang merupakan modal sosial dan modal moral muncul dalam bentuk wakaf tanah untuk masjid, rumah sakit, sekolah. Kepercayaan ini pada dasarnya adalah muara dari simpati masyarakat karena sifat moderasi Muhammadiyah dan ketinggian ahlak kadernya sehingga menyebabkan mereka tertarik masuk menjadi warga Muhammadiyah dan berjuang di dalamnya. Di samping itu juga banyak kalangan berharap dengan statemen optimistik bahwa Muhammadiyah dapat mengatasi masalah kemerosotan moral masyarakat.
Bagi yang bersikap pesimistik maka mereka melihat Muhammadiyah sudah tidak punya harapan kedepan karena kronisnya kelemahan-kelemahan yang diidapnya. Mereka menyodorkan fakta bahwa sebagai organisasi, Muhammadiyah telah berubah menjadi birokratis, lamban dalam merespon perkembangan dan dinamika masyarakat, konservatif dalam pemikiran dan kehilangan elan vitalnya sebagai organisasi tajdid. Banyak warga bahkan ”kader” Muhammadiyah yang lari akibat kekecewaan mereka terhadap Muhammadiyah, merasa terdholimi ketika bergumul di dalamnya. Tidak kurang pula jumlahnya mereka yang berada dalam Muhammadiyah kurang merasa nyaman karena suasana spiritual yang dianggap gersang. Iklim organisasi yang kering akibat dominasi ”fikir” dan ”perbuatan” dalam gerakan Muhammadiyah dianggap tidak memberi suasana keteduhan jiwa dalam olah spiritual. Di samping itu juga ada kader-kader Muhammadiyah tidak nyaman di Muhammadiyah karena menganggap Muhammadiyah terlalu liberal, ataupun kurang radikal sehingga mereka bergabung atau mendirikan organisasi lain yang dapat menyalurkan selera dakwahnya.
What next ?
Dengan mencermati kecenderungan tersebut, maka tidak berlebihan bila kita nyatakan bahwa titik lemah yang ada dalam Muhammadiyah terletak pada sistem perkaderannya. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan tolok ukur dari kinerja sistem perkaderan yang ada dalam Muhammmadiyah:
Pengajian
Tolok ukur pertama dalam melihat perkaderan di Muhammadiyah adalah subur atau gersangnya pengajian-pengajian Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah secara embrional berasal dari pengajian Fathul Asrar Miftahus Sa’adah yang dipimpin sendiri oleh K.H. Ahmad Dahlan. Dalam perkembangannya kemudian banyak kelompok pengajian yang bergabung dalam Persyarikatan Muhammmadiyah seperti Ihwanul Muslimin, Ta’awanu ’alal Birri, Priyo Utomo dan Hayatul Qulub di Yogyakarta, Siddiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) di Solo, Jami’atul Rahmah di Kisaran, Muhibbul Islam di Bengkulu, Nurul Islam di Pekalongan dan sebagainya. Dengan melihat sejarah perkembangan itu, wajarlah kalau tolok ukur yang kita pakai untuk melihat keberhasilan sistem perkaderan dalam Muhammadiyah adalah kesuburan pengajiannnya. Jika pengajian-pengajian tumbuh subur ngrembaka di Ranting dan Cabang serta Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), kita boleh bernafas lega. Akan tetapi bila yang terjadi sebaliknya, kita harus prihatin dan gelisah. Di samping itu, terkait erat dengan pengajian tersebut adalah menyangkut mubaligh Muhammadiyah. Apakah jumlah dan kualitas mereka bertambah? Apakah mereka mengadakan kajian rutin keagamaan atau munadharah yang akan membekali mereka dalam bertabligh? Apakah Persyarikatan memiliki cukup perpustakaan tempat para mubaligh Muhamadiyah dapat menambah wawasannya? Apakah Muhammadiyah menyediakan hotspot area untuk mengakses berbagai informasi mutakhir bagi para mubalighnya?
Melihat pengajian dan tabligh Muhammadiyah sekarang ini, kita sadar bahwa era informasi dengan perkembangan teknologinya telah mengubah banyak hal yang menyangkut modus tabligh dan pilihan media. Muhammadiyah tengah berhadapan dengan raksasa  media massa yang mengusung nilai-nilai yang sering berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Di media cetak kita tidak punya penerbit yang berwibawa untuk menerbitkan buku-buku Islam dalam paradigma Muhammadiyah. Kita memang tak pernah serius menggarap lahan ini, sehingga kita menjadi konsumen yang tak bisa memilih buku ataupun terbitan yang ada. Bahkan kita kalah dengan para ”mubaligh” pendatang baru dengan buku, majalah ataupun koran yang dapat diramu menurut pilihan strategi dakwahnya. Belum lagi menyangkut penguasaan media elektronik seperti radio, TV ataupun internet. Sebagai organisasi dakwah modern dengan cap ”pembaharu” maka penguasaan media massa atau paling tidak memanfaatkan teknologi informasi untuk kegiatan tabligh merupakan keniscayaan yang harus kita upayakan. Jika kuantitas Mubaligh yang berwibawa menurun, profesionalismenya tidak meningkat serta piliham modus dan media pengajian Muhammadiyah sama dengan situasi 50 tahun yang lalu, sesungguhnya lampu merah, setidak-tidaknya lampu kuning telah menyala bagi Muhammadiyah.
Pelatihan
Tolok ukur kedua adalah pelatihan. Berbeda dengan pengajian yang sifatnya elastis dan luwes, pelatihan di Muhammadiyah memang telah memiliki pedoman baku yang berisi kurikulum, silabi dan materi. Disamping itu pedoman perkaderan dirancang berjenjang – berkelanjutan. Yang belum jelas benar ialah kepada siapa sebuah pelatihan seperti Darul Arqam diberlakukan dan diperuntukkan. Sosialisasi yang kurang, ketidakpedulian pimpinan Persyarikatan di berbagai level, tiadanya instruktur sebagai operator perkaderan dan ketiadaan dana menimbulkan kesan bahwa perkaderan yang ada selama ini ya suka-suka. Artinya Darul Arqam tidak mengikat kepada siapapun dan lembaga apapun di Muhammadiyah ini. Ke depan, ketidakjelasan seperti ini harus diakhiri. Darul Arqam tidak lagi bersifat optional tetapi bersifat compulsory, wajib diikuti oleh Pimpinan Persyarikatan dan AUM setiap pergantian periode. Kemudian setiap semester atau tahun diselenggarakan refreshing Pimpinan agar spirit bermuhammadiyah tetap segar dan terjaga. Ada baiknya ditekankan kepada setiap AUM untuk mengalokasikan anggaran untuk pelatihan dalam menyusun APB-AUM tahunan. Dengan demikian tidak ada lagi alasan (yang dicari-cari) untuk tidak melaksanakan pelatihan seperti Darul Arqam, Baitul Arqam ataupun bentuk-bentuk pelatihan Fungsional yang lain.
Kaderisasi Ortom
Tolok ukur ketiga, ialah kaderisasi lewat Ortom. Perkaderan di Ortom Muhammadiyah dapat dikatakan berjalan relatif efektif walaupun seringkali terkendala dana. Meskipun perkaderan antar Ortom, dan Ortom dengan Persyarikatan belum sonkron dan sinergis, pasokan kader Ortom ke Persyarikatan cukup besar sehingga sedikit melegakan. Banyak pimpinan Persyarikatan yang berasal dari IPM, IMM, NA dan Pemuda Muhammadiyah. Namun banyak pula mantan aktivis Ortom yang tidak terlibat dalam Muhammadiyah. Banyaknya kader muda yang berasal dari Ortom dan tidak masuk dalam struktur Muhammadiyah disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah pandangan bahwa perkaderan dalam tubuh AMM lebih merupakan fungsi dan tugas pokoknya. Atau dengan kata lain merupakan kuajiban institusional bagi AMM untuk mendidik dan mengembangkan diri dari pada hak untuk mendapatkan porsi dalam Persyarikatan. Padahal perkaderan dalam Ortom ini ini memiliki keunggulan dalam hal ideologi dan beragamnya potensi profesionalismenya dilihat dari latar belakang pendidikannya. Hal ini sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekuarangan kader di AUM dan Majelis-majelis di Persyartikatan. Karena tidak dapat masuk struktur Persyarikatan, mereka aktif di organisasi, pergerakan atau korporasi lain yang dapat menyalurkan potensi atau menggajinya lebih tinggi di banding dengan Muhammmadiyah. Banyak kalangan menyayangkan kasus semacam ini karena Persyarikatan kehilangan kader potensial.
Sekolah Kader
Tolok ukur ke empat adalah keberhasilan kaderisasi yang berasal dari sekolah kader yang dimilikinya. Di level Sekolah Menengah. Muallimin Muhammadiyah Yogya masih menjadi tumpuan di samping Pondok Pesantren Garut dan lainnya. Sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi ada PUTM di Yogya, Pondok Nuriyah Shobron di Surakarta dan lain-lain. Sekolah Kader Muhammadiyah pada umumnya berkutat pada ”ilmu agama” sehingga tidak akan memproduksi ahli bidang lain seperti teknik, kedokteran, fisika, farmasi atau ekonomi. Namun perkaderan ini sangat berguna untuk memasok kelangkaan ulama yang sering disebut-sebut dalam Muhammadiyah. Kenyataan di lapangan sekolah-sekolah kader ini semakin berkurang peminatnya karena didera masalah manajemen dan harapan masa depan dalam memperoleh pekerjaan.
Perkaderan di AUM
Tolok ukur ke lima menyangkut perkaderan di Amal Usaha Muhammadiyah. Telah menjadi rahasia umum bahwa karena potensi ekonominya maka karyawan-karyawan di amal usaha lebih beragam ideologinya dibanding fungsionaris pada struktur Persyarikatan. Kita bisa menemukan karyawan yang hanya sekedar mencari nafkah, abangan, sekular, liberalis sampai radikal fundamentalis. Bila dilacak lebih lanjut persoalan ini berasal dari proses rekrutmen awal yang didasarkan pada kepentingan sesaat dan pragmatisme semata. Dalam perkembangan berikutnya ada amal usaha Muhammadiyah namun dikuasai oleh orang-orang non Muhammmadiyah sehingga menjadi benih konflik dengan kader-kader Muhammadiyah yang dibesarkan oleh Persyarikatan sejak awal. Bagaimanapun menjadi kuwajiban Muhammadiyah untuk dapat ”menguasai” kembali amal usaha tersebut dan menjadikannnya sebagai lahan dan media dakwah bagi Persyarikatan. Perkaderan di amal usaha semacam ini memang membutuhkan penanganan yang lebih cerdas, tidak cukup dengan melaksanakan sistem perkaderan yang ada, meliputi Perkaderan Utama (Darul Arqam dan Baitul Arqam) maupun perkaderan Fungsional. Pelaksanaan perkaderan yang lebih bersifat compulsory dan syarat-syarat yang lebih ketat berkenaan dengan rekrutmen Pimpinan adalah opsi yang barangkali patut diperhatikan Namun hal semacam itu mungkin tidak dapat dilaksanakan pada amal usaha yang masih lemah dan berskala kecil karena keketatan semacam itu justru akan membunuh amal usaha tersebut.
Selain hal-hal di atas, perlu memperoleh catatan khusus ialah perkaderan di Amal Usaha Muhammadiyah seperti sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan lainnya. Dari sektor ini kita tidak bisa berharap banyak meskipun ada satu-dua yang kemudian menjadi simpatisan dan aktivis Muhammadiyah. Sekolah Muhammadiyah agaknya memang tidak dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan kader. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa banyak alumni sekolah masih saja berediologi bawaan setelah  bersekolah atau kuliah di Perguruan Muhammadiyah selama bertahun-tahun. Demikian juga mereka yang Kristen, Katolik atau Budha tetap memeluk agama mereka. Persoalan menjadi semakin pelik, membingungkan ketika ada seorang ”tokoh” Muhammadiyah berteriak dengan bangga ”Dakwah Muhammadiyah lewat sekolahan memang tidak untuk mengislamkan siswanya apalagi memuhammadiyahkan mereka”. Berbagai tanggapan muncul dan orang kemudian bertanya, benarkah pernyataan tadi atau hanya sebuah retorika untuk menutupi sebuah ketidakberdayaan karena sesungguhnya yang namanya dakwah Islam pastilah sebuah kesengajaan untuk mengajak orang kepada Islam tanpa paksaan atau kekerasan.
Transformasi Kader
Transformasi kader merupakan masalah yang sering menimbulkan ketegangan akibat rekrutmen yang dilakukakan tidak sesuai dengan slogan bahwa Angkatan Muda Muhammadiyah adalah pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Hal ini disebabkan kader merasa sebagai pewaris Muhammadiyah, dilain pihak pimpinan Persyarikatan sering mengabaikan mereka atau bahkan menoleh pada personal lain karena pertimbangan pragmatis sesaat. Untuk itu barangkali dibutuhkan semacam lembaga atau menambahkan tugas pada Majlis Pendidikan Kader untuk berfungsi dalam pelaksanaan prinsip multi entry kader yang berupa inventarisasi kader, talent scouting dan penyaluran kader pada tempat yang sesuai di Persyarikatan.
Disamping itu kebutuhan kader beragam-bidang di Muhammadiyah barangkali bisa diatasi dengan memberikan (mencarikan) beasiswa untuk studi lanjut bagi kader-kadernya yang berprestasi. Akan lebih afdhal lagi bila Muhammadiyah berani memasang target. Misal Muhammadiyah akan memberikan beasiswa S-2 sebanyak 500 orang dan S-3 sebanyak 200 orang setiap tahunnya. Target itu perlu untuk menunjukkan kesungguhan dan sekaligus menunjukkan sebuah perencanaan sehingga lebih mudah mengevaluasinya.
Khotimah
Dari paparan di atas cukup jelas sudah persoalan yang dihadapi Muhammadiyah ke depan. Jika Muhammadiyah menginginkan kader penerus cita-cita dan perjuangannya willy-nilly harus dimulai dengan menyemai, menanam, memupuk, menyirami sebelum memetik hasilnya. Abai akan pentingnya kaderisasi dapat membuat kapal besar Muhammadiyah ini berlayar seolah tanpa tujuan, terombang-ambing di tengah samodra dengan penumpang yang tidak jelas pula karena tanpa identitas. Perilaku mereka aneh-aneh karena mereka tidak memahami Muhammadiyah dan tidak merasa tidak ada ikatan apapun dengannya.
Walllahu a’lam bish shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar